Senin, 01 November 2010

Contoh Kontrak Dagang Via Internet

ORDER



Sebagai pembeli dan pemakai produk komparisi.com

maka Anda harus mengetahui dan menyetujui

peraturan berikut ini !



Saya, sebagai pemesan produk informasi dari komparisi.com,

mengetahui dan menyetujui bahwa :



1.

Produk yang dijual adalah berupa produk informasi dalam format digital berupa Kompilasi Konsep Perjanjian dan Akta Notaris beserta bonus pendukung lainnya. Saya akan mendapatkan username dan password khusus untuk mendownload produk serta bonus pendukung melalui member area.

2.

Saya akan menjalankan sesuai instruksi agar bisa menggunakan produk tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan. Apabila ada kesamaan nama, waktu, dan tempat dalam produk komparisi ini maka hal tersebut adalah kebetulan belaka.

3. Jika setelah mendownload produk utama beserta pendukung ternyata tidak jalan (file corrupt), saya berhak meminta uang Saya kembali.
Garansi tidak berlaku bilamana Saya hanya me-review materi /produk informasi tanpa melakukan modifikasi dalam tindakan nyata.
Garansi uang kembali berlaku selama 1 (satu) bulan sejak Saya memesan produk ini.

4. Dilarang keras untuk menggandakan produk beserta bonus pendukung lainnya tanpa izin dari pemilik/pengelola produk komparisi.com. Produk ini telah kami daftarkan hak ciptanya di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual.

5. Pemilik/Pengelola berhak mencabut keanggotaan apabila ada member yang melanggar kesepakatan yang telah disepakati bersama.

6. Permintaan garansi dilakukan kepada mereka yang telah menerima uang saya Yaitu:
pemilik website ini, Romeo Yanto Esyam S.H., dan sponsor Saya : Putri Vinessia Fahmi.



Dengan meng-KLIK link ini berarti saya telah mengetahui
dan menyetujui pernyataan di atas.

Klik link di atas untuk meneruskan pemesanan

Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


• KEKAISARAN ROMAWI
Abad 2-6 Masehi Awal perkembangan HPI, meski kenyataan sejarah menunjukkan peristiwa hukum yang diatur masihg jauh dari HPI dalam arti yang modern.
Asas HPI yg berasal dari Romawi:
1. Lex Rei Sitae : hk yg berlaku atas benda adlh hk dari tempat benda tsb berada.
2. Lex Loci Contractus : Terhadap perjanjian-perjanjian berlaku kaidah-kaidah hk dari tempt pembuatan perjanjian.
3. Lex Domisili : Hk yg mengatur hak dan kewajiban seseorang adalah hk dari tempat orang tersebut berdiam

• PERTUMBUHAN AZAS PERSONAL HPI
Abad 6-10 M Pada masa ini tidsak jelas bagaimana perkara-perkara diselesaikan. Namun tumbuh beberapa prinsip HPI yang dibuat atas asas genealogis.
Asas HPI yg lahir di masa ini:
 Hk yg berlaku dlm suatu perkara atau hk personal dari tergugat.
 Kapasitas para pihak dlm perjanjian hrs ditentukan oleh hk personal dari masing-masing pihak.
 Masalah pewarisn hrs diatur berdasarkn hk personal pewaris.
 Pengesahan perkawinan harus berdasar hukum personal suami.


• ASAS TERITORIAL DI ITALIA
Abad 11-12 M Setelah 300an tahun, pertumbuhan asas personal genealogisa semakin sulit dipertahankan. Karena adanya transformasi struktur masyarakat yang condong kearah masyaralkat teritorialistik.
Eropa Utara Susunan masyarakat genealogis, bertransformasi menjadi masyarakat teritorialistik melaui tumbuihnya kelompok-kelompok feodalistik
Eropa selatan. Transformasi kearah teritorialistik disebabkan oleh perkembangan kota-kota perdagangan di Italia.
 Statute Personalia: statuta yg mempunyai lingkungn kuasa berlaku secara personal Artinya mengikuti orang dimanapun ia berada.
 Statute realia : statuta yg mempunyai lingkungan kuasa secara territorial. Artinya hanya benda-benda yg terletk di wilayah pembntk UU tunduk Dibawah statute tersebut
 Statuta Mixta yg berlaku bagi tiap perjanjian yang diadakan di tempat berlakunya statute itu dg sgala akibat hukumnya.


• PERTUMBUHAN TEORI STATUTA
Abad 13-15 M Dengan meningkatnya intensitas perdagangan antarkota, asas teritorial tidak sesuai lagi, maka para ahli hukum Italia mwncari asas hukum yang dianggap adil, wajar dan ilmiah untuk menyelesaikan konflik-konflik antar kota.
 Gagasan Accursius
o Bila seseorang dari suatu kota tertentu dituntut secara hukum di kota lain, maka ia tidak diadili berdasar hukum dari kota lain, sebab ia bukan subyek hukum di sana.
 Statute Personalia adalah statuta yang mempunyai lingkungan kuasa berlaku secara personal. Artinya mengikuti orang dimanapun ia berada.
 Statute realia adalah statuta yg mempunyai lingkungan kuasa secara territorial.nArtinya hanya benda2 yg terletk di wilayah pembentuk UU tunduk Dibawah statute tsb.
 Statuta Mixta yaitu statuta yang berlaku bagi tiap perjanjian yang diadakan di tempat berlakunya statute itu dengan segala akibat hukumnya.

• PERKEMBANGAN TEORI STATUTA DI PERANCIS
Abad 16 M Struktur kenegaraan prancis pada abad ini, mendorong untuk mempelajari hubiungan perselisihan secara intensif. Para ahli hukum pernacis berusaha menjalanindan memodifikasi teori statuta italkia dan menerapkannya dalam konflik antar propinsi diprancis.
 Memperluas statuta personalia hngga mencakup pilihn hk
 Memperluas statuta realia hingga menjad otonmi wilayah/teritorial



• TEORI STATUTA BELANDA
Abad 17 M Prinsip dasar yang dijadikan pedoman adalah kedaulatan eksklusif negara. Statuta yang dimaksud adalah negara yang berlaku dalam teritorial di suatu negara.

• TEORI HPI UNIVERSAL
Abad 19 M Dicetuskan oleh Fredrich Carl V. Savigny dijerman. Dengan mengembangkan pemikiran-pemikiran dari ahli hukum jerman lain (C.G. Von Wachter) Inti pemikiran C.G. Von Wachter yaitu meninggalkan klasifikasi alat statuta dan memusatkan perhatian pada penetapan hukum yangberlaku terhadap hubungan hukum (legal Relationship) tertentu. Intinya penentuan hukumyang harus diberlakukan dalam perkara HPI sebenarnya adalah hukum dari tempat yang merupakan legal seat (tempat kedudukan)

SEJARAH HPI INDONESIA

• AWAL MULA HPI DI INDONESIA
Abad ke-17 Belanda ke Indonesia selain membawa budaya barat, juga membawa dan menerapkan Hukum antar golongan (intergentielrcht). Menurut Kollewijn: “Belanda pada waktu itu menerapkan politikluarnegeri sebagai berikut: jika suatu daerah ditaklukkan dengan kekerasan, maka hukum setempat harus dihapuskandan diganti dengan hukum belanda. Tetapi daerah-daerah yang melakuka perundingan, maka sampai batas-batas tertentu hukum setempat masih dihormati”. Namun karena lemahnya pengawasan VOC dan perlawanan rakyat, maka hukum adat masih berlaku.

• KEBERADAAN HUKUM ADAT
Abad ke 18 Saat pemerintahan Daendels, masih tetap mengakui berlakunya hukum asli rakyat Indonesia. Politik ini diperkuat oleh Raflles yang mengikuti politik pemerintah Inggris, yang membiarkan daerah jajahannya mengunakan hukumnya sendiri.




• HUBUNGAN PERDATA QUASI INTERNASIONAL
Abad ke 19 Belanda kembali menguasai wilayah Indonesia dengan kekuatan yang lebih besar. Kemudian menerbitkan Indische Staatrechgeling (IS) tahun 1925, yang pada pasal 35 memberi wewenang pada kerajaan belanda untuk mengadalkan perjajian internasional dengan raja-raja Indonesia. Hubungasn Indonesia-Belanda pada masai ini merupakan hubungan quasi internasional, maka hubungan orang Indonesia dengan belanda disebut Hubungan perdata quasi-internasional.

• HUBUNGAN HUKUM ANTAR-GOLONGAN
Abad ke-20 Awal abad ini Aceh ditaklukkan oleh belanda, maka hubungan quasi-internasional berubah menjadi hubungan kolonial. Maka hubungan perdata quasi-internasioal berubah menjadi hubungan Hukum Antar Golongan.
Perkawinan campur dan persoalan hukum tanah membuat Hukum Antar Golongan semakin berkembang. Ada sebagian ahli hukum yang menggunakan kaidah HPI untuk menyelesaikan persoalan Hukum Antar-Golongan.

• HPI INDONESIA SAAT INI
Awalnya banyak persoalan-persoalan yang mengandung unsur asing masih diselesaikanmenurut Hukum Antar - Golongan. Oleh sebab itu HPI belum mempunyai kesempatan untuk berkembang. Baru setelah terbukanya kembali kemungkinan orang asing menanamkan modalnya diIndonesia, masyarakat Indonesia sadar betapa pentingnya HPI. Agar kita tidak hanya didikte oleh negara-negara asing dalam hubungan transaksional. Artinya sekarang kita harus mulai menghilangkan kebiasaan lama untuk menyelesaikan peristiwa-peristiwa yang ada unsur asingnya dengan menggunakan hukum Antar-Golongan. Tapi sebaliknya kita gunakan HPI Indonesia secara khusus tersendiri mengatur hubungan hukum yang mengandung unsur asing.

E-Commerce (Perjanjian Lewat Internet

Sistem Perdagangan di Internet

Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan pemakaian Internet sebagai sarana komunikasi global, kini sudah cukup banyak perusahaan-perusahaan menggunakan Internet sebagai media perdagangan. Semakin mudahnya mendapatkan akses ke Internet membuat dunia semakin tidak bertembok, sehingga adanya Internet memang sejalan dengan era globalisasi dan kebijakan pasar bebas .Dengan yang jumlah penggunanya terus meningkat secara eksponensial, potensinya sebagai media perdagangan memang tak bisa dipungkiri lagi.

Namun ternyata banyak masalah yang berhubungan dengan keamanan perdagangan di Internet. Diantaranya :

1. Kerahasiaan (confidentiality): Data transaksi harus dapat disampaikan secara rahasia, sehingga tidak dapat dibaca oleh pihak-pihak yang tidak diinginkan.
2. Keutuhan (integrity): Data setiap transaksi tidak boleh berubah saat disampaikan melalui suatu saluran komunikasi.
3. Keabsahan atau keotentikan (authenticity), meliputi:

* Keabsahan pihak-pihak yang melakukan transaksi: Bahwa sang konsumen adalah seorang pelanggan yang sah pada suatu perusahaan penyelengara sistem pembayaran tertentu (misalnya kartu kredit Visa dan MasterCard, atau kartu debit seperti Kualiva dan StarCard) dan keabsahan keberadaan pedagang itu sendiri.
* Keabsahan data transaksi: Data transaksi itu oleh penerima diyakini dibuat oleh pihak yang mengaku membuatnya (biasanya sang pembuat data tersebut membubuhkan tanda tangannya). Hal ini termasuk pula jaminan bahwa tanda tangan dalam dokumen tersebut tidak bisa dipalsukan.

1. Dapat dijadikan bukti / tak dapat disangkal (non-repudiation): catatan mengenai transaksi yang telah dilakukan dapat dijadikan barang bukti di suatu saat jika ada perselisihan.

Klasifikasi-klasifikasi Sistem Perdagangan

Berikut ini akan dijelaskan beberapa macam klasifikasi dari sistem perdagangan yang kita kenal:

1. Berdasarkan Kesiapan Pembayaran

Semua alat pembayaran berdasarkan kesiapan konsumen saat membayar, dapat dikategorikan dalam :

ü Sistem debit, dimana konsumen harus terlebih dahulu memiliki cadangan dana di suatu tempat, biasanya berupa rekening di suatu bank. Contohnya adalah penggunaan kartu debit dan cek.

ü Sistem kredit, dimana seorang pembeli dapat berhutang dahulu kepada sebuah pihak saat pembelian. Konsumen akan ditagih melalui mekanisme tertentu. Biasanya ada pihak ketiga yang menjadi perantara antara pedagang dengan konsumen. Contoh pembayaran dengan sistem kredit ini adalah charge card (misalnya American Express) dan kartu kredit (misalnya Visa dan MasterCard).

ü Sistem pre-paid àPembelian uang elektronik pre-paid dapat dilakukan dengan uang kontan, mendebit dari account bank, atau bahkan dengan kartu kredit. Perhatikan bahwa meskipun pembelian awal dilakukan dengan kartu kredit, namun uang elektronik yang dibelinya dengan kartu kredit itu tetaplah dikategorikan dalam sistem pre-paid

2. Berdasarkan Keterlacakan Transaksi

Terbagi menjadi 2 jenis yaitu :

1. Transaksi teridentifikasi terlacak. Keterlacakan transaksi penting dalam transaksi dengan nilai uang yang besar, karena jika terjadi penipuan, maka transaksi tersebut harus bisa dilacak dengan mudah. Jadi, transaksi tersebut meninggalkan jejak. Dengan kartu kredit misalnya, sudah jelas pihak issuer dan aquirer kartu kredit mengetahui identitas konsumen dan pedagang. Dalam kasus tertentu, memang bisa saja konsumen tetap anonim (tidak teridentifikasi) oleh pedagang, namun lembaga keuangan pengelola kartu kredit tetap mengetahui identitas konsumen.
2. Transaksi anonim Dalam beberapa SPI, pihak penerbit uang pun tak pernah mengetahui bagaimana uang elektronik yang diedarkannya dipergunakan oleh konsumen, bahkan pada SPI Ecash/CAFE pihak penerbit uangpun tidak tahu nomor seri uang yang pernah dicetaknya. Transaksi anonim biasanya hanya digunakan untuk pembayaran dengan jumlah uang yang kecil, seperti karcis transportasi kota dll.

3. Berdasarkan Status Hukum Pihak-pihak yang Bertransaksi

àYang dimaksud dengan status hukum di sini adalah apakah status pihak-pihak yang melakukan transaksi itu dapat dibedakan menjadi konsumen dan pedagang, dilihat dari kaca mata lembaga keuangan yang menciptakan sistem transaksi.

1. Pada sistem pedagang-konsumen, secara hukum jelas terlihat siapa yang menjadi pedagang dan siapa yang menjadi konsumen. Contohnya sistem transaksi dengan kartu kredit, terlihat jelas ada pedagang (yang menerima merek kartu kredit tertentu) dan konsumen yang menggunakan kartu kredit itu.
2. Pada sistem peer-to-peer, transaksi tidak perlu dilakukan dengan pedagang yang ‘resmi’ menerima jenis alat pembayaran tertentu, namun bisa dilakukan dengan siapa saja yang mau menerima alat pembayaran tersebut, bahkan antarkonsumen. Dengan sistem pembayaran peer-to-peer, seseorang dapat berhutang pada teman, memberi ‘amplop’ ulang tahun kepada keponakan, mengganti kerugian untuk rekan dan sebagainya.. Contoh yang paling jelas adalah uang logam dan uang kertas yang diedarkan bank sentral.

4. Berdasarkan Waktu Konfirmasi Keabsahan Transaksi

àKhusus perdagangan elekronik, ternyata ada pembagian menjadi sistem perdagangan elekronik yang on-line dan off-line :

v Dengan sistem pembayaran elektronik on-line, setiap dilakukan transaksi, pedagang dapat melakukan pemeriksaan terhadap keabsahaan alat pembayaran yang dipergunakan konsumen sebelum konsumen dapat mengambil barang yang diinginkannya. Pihak yang terlibat yaitu konsumen, pedagang dan pihak yang melakukan proses otorisasi atau otentikasi transaksi.

v sistem pembayaran elekronik off-line. Konsumen dan pedagang dapat melakukan transaksi tanpa perlu ada pihak ketiga untuk melakukan proses otentikasi dan otorisasi saat berlangsungnya transaksi.

5. Berdasarkan Bagaimana Kepercayaan Diberikan

àPembagian berdasarkan jenis kepercayaan adalah klasifikasi atas bagaimana satu pihak mempercayai pihak-pihak yang lain dalam suatu sistem transaksi.

1. Sistem yang memerlukan kepercayaan tinggi kepada pihak lain yang terlibat transaksi. Pada penggunaan kartu debit/ATM misalnya, seorang konsumen harus percaya kepada bank mengenai jumlah uang yang dilaporkan setiap bulan kepadanya. Sangat sulit bagi konsumen untuk membantah bukti bahwa ia telah mengambil sejumlah uang dari ATM, karena ia tidak bisa membuktikan bahwa ia telah mengambilnya atau tidak.
2. Sistem transaksi yang tidak memerlukan kepercayaan tinggi kepada pihak lain yang terlibat transaksi. Selain itu ada pula sistem dimana semua pihak bisa membuktikan keterkaitan/ketidakterkaitannya dalam suatu transaksi, baik itu konsumen, pedagang, maupun bank. Contohnya adalah penggunaan tanda tangan digital pada transaksi elektronik. Jika dilakukan perubahan jenis kartu ATM dari kartu magnetik menjadi kartu chip yang bisa membubuhkan tanda tangan digital, maka dalam sistem baru tersebut setiap transaksi dengan kartu chip itu dapat dijadikan barang bukti yang sah.

Beberapa Syarat Tambahan Untuk Sistem Perdagangan di Internet.

1. Kriptografi

à ilmu yang mempelajari bagaimana membuat suatu pesan yang dikirim pengirim dapat disampaikan kepada penerima dengan aman.

Pembakuan penulisan pada kriptografi dapat ditulis dalam bahasa matematika. Fungsi-fungsi yang mendasar dalam kriptografi adalah enkripsi dan dekripsi. Enkripsi adalah proses mengubah suatu pesan asli (plaintext) menjadi suatu pesan dalam bahasa sandi (ciphertext).

C = E (M) Dimana : M = pesan asli

E = proses enkripsi
C = pesan dalam bahasa sandi (untuk ringkasnya disebut sandi)

Sedangkan dekripsi adalah proses mengubah pesan dalam suatu bahasa sandi menjadi pesan asli kembali.

M = D (C)
D = proses dekripsi

Umumnya, selain menggunakan fungsi tertentu dalam melakukan enkripsi dan dekripsi, seringkali fungsi itu diberi parameter tambahan yang disebut dengan istilah kunci.

1. Jenis Serangan

àSelain ada pihak yang ingin menjaga agar pesan tetap aman, ada juga ternyata pihak-pihak yang ingin mengetahui pesan rahasia tersebut secara tidak sah. Bahkan ada pihak-pihak yang ingin agar dapat mengubah isi pesan tersebut. Ilmu untuk mendapatkan pesan yang asli dari pesan yang telah disandikan tanpa memiliki kunci untuk membuka pesan rahasia tersebut disebut kriptoanalisis. Sedangkan usaha untuk membongkar suatu pesan sandi tanpa mendapatkan kunci dengan cara yang sah dikenal dengan istilah serangan (attack).

Di bawah ini dijelaskan beberapa macam penyerangan terhadap pesan yang sudah dienkripsi:

1. Ciphertext only attack, penyerang hanya mendapatkan pesan yang sudah tersandikan saja.
2. Known plaintext attack, dimana penyerang selain mendapatkan sandi, juga mendapatkan pesan asli. Terkadang disebut pula clear-text attack.
3. Choosen plaintext attack, sama dengan known plaintext attack, namun penyerang bahkan dapat memilih penggalan mana dari pesan asli yang akan disandikan.

Berdasarkan bagaimana cara dan posisi seseorang mendapatkan pesan-pesan dalam saluran komunikasi, penyerangan dapat dikategorikan menjadi:

1. Sniffing: secara harafiah berarti mengendus, tentunya dalam hal ini yang diendus adalah pesan (baik yang belum ataupun sudah dienkripsi) dalam suatu saluran komunikasi. Hal ini umum terjadi pada saluran publik yang tidak aman. Sang pengendus dapat merekam pembicaraan yang terjadi.
2. Replay attack : Jika seseorang bisa merekam pesan-pesan handshake (persiapan komunikasi), ia mungkin dapat mengulang pesan-pesan yang telah direkamnya untuk menipu salah satu pihak.
3. Spoofing [DHMM 96]: Penyerang à Penyerang berusaha meyakinkan pihak-pihak lain bahwa tak ada salah dengan komunikasi yang dilakukan, padahal komunikasi itu dilakukan dengan sang penipu/penyerang. Contohnya jika orang memasukkan PIN ke dalam mesin ATM palsu – yang benar-benar dibuat seperti ATM asli – tentu sang penipu bisa mendapatkan PIN-nya dan copy pita magentik kartu ATM milik sang nasabah. Pihak bank tidak tahu bahwa telah terjadi kejahatan.
4. Man-in-the-middle : Jika spoofing terkadang hanya menipu satu pihak tetapi man-in-the-middle dapat menipu banyak pihak.

1. Kunci Simetris

à Ini adalah jenis kriptografi yang paling umum dipergunakan. Kunci untuk membuat pesan yang disandikan sama dengan kunci untuk membuka pesan yang disandikan itu. Jadi pembuat pesan dan penerimanya harus memiliki kunci yang sama persis. Siapapun yang memiliki kunci tersebut – termasuk pihak-pihak yang tidak diinginkan – dapat membuat dan membongkar rahasia ciphertext. Problem yang paling jelas disini terkadang bukanlah masalah pengiriman ciphertext-nya, melainkan masalah bagaimana menyampaikan kunci simetris tersebut kepada pihak yang diinginkan. Contoh algoritma kunci simetris yang terkenal adalah DES (Data Encryption Standard) dan RC-4.

1. 4. Kunci Asimetris

à Kunci asimetris adalah pasangan kunci-kunci kriptografi yang salah satunya dipergunakan untuk proses enkripsi dan yang satu lagi untuk dekripsi. Semua orang yang mendapatkan kunci publik dapat menggunakannya untuk mengenkripsikan suatu pesan, sedangkan hanya satu orang saja yang memiliki rahasia tertentu – dalam hal ini kunci privat – untuk melakukan pembongkaran terhadap sandi yang dikirim untuknya. Teknik enkripsi asimetris ini jauh lebih lambat ketimbang enkripsi dengan kunci simetris. Oleh karena itu, biasanya bukanlah pesan itu sendiri yang disandikan dengan kunci asimetris, namun hanya kunci simetrislah yang disandikan dengan kunci asimetris. Sedangkan pesannya dikirim setelah disandikan dengan kunci simetris tadi. Contoh algoritma terkenal yang menggunakan kunci asimetris adalah RSA (merupakan singkatan penemunya yakni Rivest, Shamir dan Adleman).

1. 5. Fungsi Hash Satu Arah

à fungsi hash satu arah (one-way hash function), yang terkadang disebut sidik jari (fingerprint), hash, message integrity check, atau manipulation detection code, Fungsi hash untuk membuat sidik jari tersebut dapat diketahui oleh siapapun, tak terkecuali, sehingga siapapun dapat memeriksa keutuhan dokumen atau pesan tertentu. Tak ada algoritma rahasia dan umumnya tak ada pula kunci rahasia.

Jaminan dari keamanan sidik jari berangkat dari kenyataan bahwa hampir tidak ada dua pre-image yang memiliki hash-value yang sama. Inilah yang disebut dengan sifat collision free dari suatu fungsi hash yang baik. Selain itu, sangat sulit untuk membuat suatu pre-image jika hanya diketahui hash-valuenya saja.

1. 6. Tanda Tangan Digital

à Sifat yang diinginkan dari tanda tangan digital diantaranya adalah:

1. Tanda tangan itu asli (otentik), tidak mudah ditulis/ditiru oleh orang lain. Pesan dan tanda tangan pesan tersebut juga dapat menjadi barang bukti, sehingga penandatangan tak bisa menyangkal bahwa dulu ia tidak pernah menandatanganinya.
2. Tanda tangan itu hanya sah untuk dokumen (pesan) itu saja. Tanda tangan itu tidak bisa dipindahkan dari suatu dokumen ke dokumen lainnya. Ini juga berarti bahwa jika dokumen itu diubah, maka tanda tangan digital dari pesan tersebut tidak lagi sah.
3. Tanda tangan itu dapat diperiksa dengan mudah.
4. Tanda tangan itu dapat diperiksa oleh pihak-pihak yang belum pernah bertemu dengan penandatangan.
5. Tanda tangan itu juga sah untuk kopi dari dokumen yang sama persis.

Meskipun ada banyak skenario, ada baiknya kita perhatikan salah satu skenario yang cukup umum dalam penggunaan tanda tangan digital. Tanda tangan digital memanfaatkan fungsi hash satu arah untuk menjamin bahwa tanda tangan itu hanya berlaku untuk dokumen yang bersangkutan saja. Bukan dokumen tersebut secara keseluruhan yang ditandatangani, namun biasanya yang ditandatangani adalah sidik jari dari dokumen itu beserta timestamp-nya dengan menggunakan kunci privat. Timestamp berguna untuk menentukan waktu pengesahan dokumen.

1. 7. Tanda Tangan Pesan Ganda

à misalnya : seseorang membuat perjanjian jual-beli dengan oranglain. Untuk masalah pembayaran, pembeli menginstruksikan bank untuk memberikan kepada penjual sejumlah uang sesuai dengan perjanjian jual-beli, namun pembeli tidak ingin agar bank mengetahui isi perjanjian jual-beli itu.

1. pembeli membuat sidik jari dari SPP (yaitu Hash(SPP)) dan sidik jari SPJB (yakni Hash(SPJB)).
2. Kemudian, pembeli membuat sebuah sidik jari baru dari gabungan kedua sidik jari sebelumnya ( Hash ( (Hash(SPP) + Hash(SPJB) ) ). Hasil hash tersebut dinamakan sidik jari pesan ganda SPP & SPJB.
3. pembeli menyerahkan surat perjanjian jual belinya kepada penjual. Selain itu pembeli juga menyerahkan surat perintah pembayaran beserta sidik jari pesan ganda SPP & SPJB kepada bank.
4. Saat penjual ingin mengambil uang di bank, penjual membuat sidik jari dari surat perjanjian jual beli (SPJB). penjual menyerahkan sidik jari SPJB kepada bank.
5. Bank membuat sidik jari dari surat perintah pembayaran (SPP).
6. Bank menggabungkan sidik jari SPP dengan sidik jari SPJB yang diterimanya dari penjual, kemudian meng-hash-nya sehingga dihasilkan sidik jari pesan ganda SPP & SPJB.
7. Jika sidik jari pesan ganda SPP & SPJB yang baru dibuat itu sama dengan yang telah diberikan oleh pembeli, maka bank menjalankan kewajibannya kepada penjual.

Jika sidik jari pesan ganda SPP & SPJB dienkripsi dengan kunci privat penjual, maka akan menjadi tanda tangan pesan ganda (dual-signature) penjual untuk kedua perjanjian tersebut.

Perbandingan Sistem perdagangan di Internet

1. 1. Protokol Cek Bilyet Giro

à Transaksi di Internet yang mengoptimalkan penggunaan sertifikat digital, sementara ini barulah SET (Secure Electronic Transacsion), meskipun sudah banyak pula pengembang-pengembang yang mengumumkan akan menggunakan sertifikat digital dalam produk mereka. Penggunaan sertifikat digital memang membuat transaksi di Internet lebih aman. Salah satu jenis pembayaran yang tidak dimaktub dalam spesifikasi SET adalah penggunaan cek bilyet digital. Berasarkan hal tersebut, dibawah ini diusulkan rancangan protokol cek bilyet digital.

Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya cek bilyet digital ini adalah:

1. Adanya suatu sistem transaksi di Internet, yang berdasarkan pada alur transaksi cek bilyet. Cek bilyet adalah cek yang tidak bisa diuangkan dengan kas, hanya bisa dipergunakan untuk transfer ke rekening lain saja.
2. Transaksi yang menggunakan protokol ini haruslah aman, dalam arti sanggup:

* Menjamin kerahasiaan data dari pihak yang tidak berkepentingan
* Menjamin keutuhan data yang ditransmisikan
* Menyediakan proses otentikasi antarpihak yang bertransaksi
* Menyediakan suatu pencatatan yang dapat dijadikan barang bukti

1. Memanfaatkan sebanyak mungkin perangkat-perangkat kriptografi yang sudah ada dalam protokol SET untuk rancangan protokol cek bilyet digital ini. Ini dimaksudkan agar dalam aplikasi yang mendukung SET, dapat pula mendukung protokol cek bilyet digital ini hanya dengan sedikit upgrade. Salah satu perangkat kriptografi yang penting untuk dimanfaatkan dalam protokol cek bilyet digital ini adalah sertifikat digital.
2. Seperti halnya protokol SET, protokol cek bilyet digital ini tidak terikat kepada protokol-protokol yang spesifik pada perangkat lunak atau perangkat keras tertentu.

1. 2. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah

à Berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku satu bulan sejak penggggundangannya, yaitu 20 April 1999. Pasal 1 butir 2 mendefinisikan konsumen sebagai … “Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

1. 3. Keabsahan Kontrak.

à Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya.

Dan pada pasal 1320 menentukan syarat2 perjanjian, yaitu :

¨ Kata Sepakat à Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu di kehendaki juga oleh pihak yang lain.

¨ Cakap bertindak à orang yang sudah dewasa (usia min. 21 tahun), dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.

¨ Adanya objek à barang yang diperjual-belikan

¨ Kausa halal à isi perjanjian yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud.

¨

1. 4. Digital Signature

à Suatu sistem pengamanan yang menggunakan Public Key Cryptography System, atau bentuk tiruan tanda tangan konvensional ke dalam bentuk digital tetapi bukan file scan tanda tangan di kertas

1. 5. Upaya Penyelesaian Hukum

à Lembaga Hukum yg dpt digunakan untuk menyelesaikan sengketa dalam transaksi pembayaran internet melalui lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR)

Minggu, 28 Maret 2010

Komentar PP No 19 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2010
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR
SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI


Latar Belakang

Dasar dibentuknya PP no 19 ini mengingatPasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
Selain ketentuan – ketentuan tersebut PP 19 Tahun 2010 tidak sedikit pun mengeliminasi pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, tapi bobot kewenangan gubernur diperkuat dan titik otonomi daerah tetap di kabupaten/kota.



Tujuan
PP no 19 tahun 2010 dibentuk dengan tujuan membagi kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintahan daerah, dalam PP tersebut, Gubernur bisa memberi sanksi kepada Bupati/Walikota yang dianggap membandel di wilayahnya. Kapuspen Kemendagri Saut Situmorang mengatakan, dalam PP tersebut kewenangan Gubernur bakal diperkuat. Posisi Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah diwujudkan pada kewenangan untuk melakukan fungsi pembinaan, evaluasi dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota. Selain itu, Gubernur akan selalu dilibatkan dalam koordinasi dengan instansi vertikal dan Pemkab/Pemkot. Ini membuat Pemkab/Pemkot tak bakal bisa bergerak sendiri. Tiap kali ada kementerian sektoral yang melaksanakan pembangunan di wilayah tersebut, harus berkoordinasi dengan Gubernur.
Selain itu tujuan PP 19/2010 supaya gubernur punya kewenangan memberi sanksi terhadap bupati dan wali kota yang tak mengindahkan imbauan atau menjalankan ketentuan yang ada.

Komentar
Menurut saya PP no 19 tahun 2010, Posisi Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah semakin kuat. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Dalam PP tersebut, Gubernur bisa memberi sanksi kepada Bupati/Walikota yang dianggap membandel di wilayahnya. Kapuspen Kemendagri Saut Situmorang mengatakan, dalam PP tersebut kewenangan Gubernur bakal diperkuat. Posisi Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah diwujudkan pada kewenangan untuk melakukan fungsi pembinaan, evaluasi dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota.
Selain itu, Gubernur akan selalu dilibatkan dalam koordinasi dengan instansi vertikal dan Pemkab/Pemkot. Ini membuat Pemkab/Pemkot tak bakal bisa bergerak sendiri. Tiap kali ada kementerian sektoral yang melaksanakan pembangunan di wilayah tersebut, harus berkoordinasi dengan Gubernur.
PP tersebut berdampak pada mekanisme pelantikan Gubernur berubah. Gubernur yang biasanya dilantik Mendagri akan dilantik langsung oleh Presiden. Ini sebagai perwujudan perwakilan pemerintah pusat di daerah.
Selain itu, Gubernur juga bisa memberi sangsi. Pasal 7 ayat 4 menyebutkan, pemerintah kabupaten/kota yang dengan sengaja tidak ikut dalam pelaksanaan koordinasi akan dikenakan sanksi. Sanksi tersebut, kata Saut, tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yakni, Gubernur mengajukan kepada pemerintah pusat agar diberi sanksi berdasarkan alasan-alasan tertentu. PP ini akan semakin membuat raja-raja kecil di daerah terus berkurang. Sebab, mau tidak mau para Bupati/Walikota harus terus berkoordinasi dengan Gubernur. Tidak seperti selama ini. Semuanya bergerak sendiri-sendiri. Bahkan, diundang rapat koordinasi oleh Gubernur, tidak ada yang mau hadir.
Dalam PP ini gubernur diberi kewenangan (1) menetapkan pengangkatan dan pemberhentian sekretaris daerah kabupaten/kota, (2) menjaga norma dan etika penyelenggaraan pemerintahan daerah (3) mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang APBD, pajak, retribusi, tata ruang wilayah kabupaten/kota. (4) pengawasan peraturan kepala daerah (perkada) termasuk membatalkannya, (5) melakukan pengawasan kinerja pemerintah daerah, (6) pengawasan pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. (7) memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota, atas permintaan aparat penegak hukum, (8) memberikan penghargaan dan sanksi kepada bupati dan walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban sebagai kepala daerah dan pelanggaran sumpah/janji.Dari pengamatan penulis, setidaknya terdapat lima jenis sanksi yang diatur dalam PP ini .
Bupati/walikota dapat diberi sanksi jika tidak melaksanakan kewajiban berupa menaati dan menegakkan semua peraturan perundang-undangan, menjaga etika dan norma pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal (27) UU 32/2004 Tentang Pemerintahan daerah dan pasal (9) PP 38/2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota).
Melanggar larangan bagi bupati/walikota antara lain membuat keputusan yang memberikan keuntungan bagi diri, keluarga, kroni, kelompok tertentu, kelompok politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, mendiskriminasikan golongan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal (28) UU 32/2004.
Melanggar sumpah/janji sebagaimana diatur dalam pasal 110 UU No. 32/2004. (d) Jika kinerja bupati/walikota rendah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah yang diukur berdasarkan pasal (58) PP No. 6/2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah)
Jika bupati/walikota tidak melaksanakan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) dan tidak melaksanakan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) sebagaimana diatur dalam pasal 17 PP 38/2007 dan psl 19 (1) PP 65/2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal).
Tidak mengindahkan hasil pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh gubernur sesuai pasal 45 ayat 2 PP 79/2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.Namun yang menjadi pertanyaan adalah ‘’Apa bentuk sanksi dan tata cara penjatuhan sanksi kepada bupati/walikota seandainya terjadi pelanggaran?’’ Dalam peraturan pemerintah ini tidak jelas diuraikan.

Jumat, 26 Maret 2010

Tindak pidana terhadap harta kekayaan

Ø DEFINISI
Tindak pidana terhadap harta kekayaan adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak), dimuat dalam Buku II KUHP yaitu :
1. Pencurian (diefstal), diatur dalam Bab XXII. ( Pasal - pasal Pencurian)
2. Pemerasan dan Pengancaman (afpersing dan afdreiging), diatur dalam Bab XXIII. ( Pasal - pasal Pemerasan dan Pengancaman)
3. Penggelapan (verduistering), diatur dalam Bab XXIV. ( Pasal - pasal Penggelapan)
4. Penipuan (bedrog), diatur dalam Bab XXV. ( Pasal - pasal Penipuan)
5. Penghancuran dan Perusakan Benda (vernieling of beschadiging van goederen), diatur dalam Bab XXVII. (Pasal - pasal Penghancuran dan Perusakan Benda)

~ UNSUR - UNSUR TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA KEKAYAAN

> Unsur - Unsur Objektif berupa :
Unsur perbuatan materiil, seperti perbuatan mengambil pada pencurian, perbuatan memiliki pada penggelapan, perbuatan menggerakkan (hati) pada penipuan, perbuatan memaksa pada pemerasan dan pengancaman, perbuatan menghancurkan dan merusakkan pada penghancuran dan perusakan barang.
Unsur benda atau barang.
Unsur keadaan yang menyertai terhadap objek benda, yakni unsur milik orang lain yang menyertai/melekat pada unsur objek benda tersebut.
Unsur upaya - upaya yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang, seperti kekerasan atau ancaman kekerasan dalam kejahatan pemerasan, atau dengan memakai nama palsu, kedudukan palsu, tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan dalam melakukan perbuatan menggerakkan (hati) orang lain pada kejahatan penipuan.
Unsur akibat konstitutif, berupa unsur yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang (perbuatan materiil), seperti orang menyerahkan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang dari kejahatan penipuan (pasal 378 KUHP). Unsur ini sebenarnya juga merupakan tujuan/yang dikehendaki petindak dalam kejahatan - kejahatan ini.

> Unsur - Unsur Subjektif berupa :
Unsur kesalahan, yang dirumuskan dengan kata - kata seperti : dengan maksud pada kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan pangancaman, atau dengan sengaja pada kejahatan penggelapan, perusakan dan penghancuran barang, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga pada kejahatan penadahan.
Unsur melawan hukum, yang dirumuskan secara tegas dengan perkataan melawan hukum dalam kejahatan - kejahatan pencurian, pemerasan, pengancaman, penggelapan, dan perusakan barang.

Unsur - unsur kejahatan terhadap harta benda di samping unsur - unsur yang terdapat dalam bentuknya yang pokok sebagaimana tersebut di atas, terdapat pula unsur - unsur yang khusus pada masing - masing bentuk baik yang bersifat memberatkan maupun yang bersifat meringankan kejahatan itu. Sebagaimana contoh unsur kekerasan atau ancaman kekerasan pada kejahatan pencurian dengan kekerasan (pasal 365 KUHP) atau unsur benda dalam kekuasaannya karena hubungan kerja, pencaharian atau mendapat upah untuk itu pada penggelapan (pasal 374 KUHP).
Pada bentuk - bentuk yang meringankan seperti unsur nilai objek kurang dari Rp. 250,00 pada pencurian ringan (pasal 364 KUHP), penipuan ringan (pasal 379 KUHP) dan penggelapan ringan (pasal 373 KUHP).
Unsur khusus pada bentuk khusus tindak pidana terhadap harta benda sebagaimana tersebut di atas adalah yang bersifat objektif. Sedangkan yang bersifat subjektif, misalnya karena kealpaannya pada pasal 409 KUHP yang bersifat meringankan.[1]

A. Pencurian

v DEFINISI
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur - unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi : "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00". Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur - unsur ojektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan unsur - unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum). Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut di atas.

Ø UNSUR - UNSUR PENCURIAN
v Unsur - Unsur Objektif berupa :
1. Unsur perbuatan mengambil (wegnemen). Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan - gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari - jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau ke dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari - jari sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mangambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak (Kartanegara, 1:52 atau Lamintang, 1979:79-80). Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa "perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui".

2. Unsur benda. Pada mulanya benda - benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda - benda bergerak (roerend goed). Benda - benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda - benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawan dari benda bergerak.

3. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (pasal 372). Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain? Orang lain ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap benda - benda milik suatu badan misalnya milik negara. Jadi benda yang dapat menjadi objek pencurian ini haruslah benda - benda yang ada pemiliknya. Benda - benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.

Unsur - Unsur Subjektif berupa :
1. Maksud untuk memiliki. Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri (Satochid Kartanegara 1:171) atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubung kan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan per­ buatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.

2. Melawan hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan kete­ rangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya (Moeljatno, 1983:182). Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. Dalam praktik hukum terbukti mengenai melawan hukum dalam pencurian ini lebih condong diartikan sebagai melawan hukum subjektif sebagaimana pendapat Mahkamah Agung yang tercermin dalam pertimbangan hukum putusannya (No. 680 K/Pid/1982 tanggal 30-7-1983). Dimana Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (yang menghukum) dan membebaskan terdakwa dengan dasar dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dengan pertimbangan hukum "tidak terbukti adanya unsur melawan hukum". Sebab pada saat terdakwa mengambil barang-barang dari kantor, dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwaadalah milik almarhum suaminya. Sebagai seorang ahli waris, terdakwa barhak mengambil barang-barang tersebut (Yahya Harahap, 1988:868). Pada bagian kalimat yang berbunyi "dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah milik almarhum suaminya" adalah merupakan penerapan pengertian tentang melawan hukum subyektif pencurian pada kasus konkrit dalam putusan pengadilan. Walaupun sesungguhnya tidak berhak mengambil sebab barang bukan milik suaminya, tetapi karena dia beranggapan bahwa barang adalah milik suaminya, maka sikap batin terhadap perbuatan mengambil yang demikian, adalah merupakan tiadanya sifat melawan hukum subyektif sebagaimana yang dimaksud pasal 362 KUHP. Sedangkan apa yang dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Dilihat dart mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil, dan kedua melawan hukum materiil. Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis. Seperti pendapat Simons yang menyatakan bahwa untuk dapat dipidananya perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam undang-undang (Moeljatno, 1983:132). Sedangkan melawan hukum materiil, ialah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat, azas mana dapat saja dalam hukum tidak tertulis maupun sudah terbentuk dalam hukum tertulis. Dengan kata lain dalam melawan hukum mate­ rill ini, sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan terletak pada masyarakat. Sifat tercelanya suatu perbuatan dari sudut masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pendapat Vos yang menyatakan bahwa melawan hukum itu sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dikehendaki atau tidak diperbolehkan (Moeljatno, 1983:131). [2]


[1] Pakarhukum.sitego.net/tindakpidanaterhadaphartakekayaan.php.
[2] Pakarhukum.sitego.net/pencurian.php.

Hukum keluarga

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum keluarga menurut doctrine adalah hukum yang mengatur perkawinan keturunan.
Hukum keluarga menurut K.U.H.Perdata pada asasnya mengatur tentang:
- Perkawinan
- Akibat hukum dari perkawinwn terhadap:
- Suami istri
-mengenai diri/person suami istri
-mengenai harta benda suami istri
-anak
-anggota keluaga yang lain
- Hubungan antara wali dan pupilnya
- Hubungan antara curator dengan Curandus
Keluarga merupakan kesatuan terkecil dari masyarakat. Ia merupakan soko guru dari masyarakat. Pendidikan anggota masyarakat dimulai dari sana.dari keluarga yang sehat dan sejahtera dapat diharapkan adanya masyarakat yang sehat dan tertib.
Didalam hubungan kekeluargaan ,moral, sopan santun, dan agama memainkan peranan yang sangat mendalam. Menjunjung tinggi moral dan ketertiban umum merupakan kewajiban negara. Itulah sebabnya negara mengeluarkan banyak peraturan tentang hukum keluaga yang bersifat memaksa.
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan-peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan. Termasuk hukum keluarga antara lain ialah:
a. Kekuasaan Orangtua (Ouderlijk Macht)
Dasar hukumnya adalah UU No. 1 / 1974 Pasal 45,46,48, dan 49 dengan ruang lingkup:
Orangtua wajib memelihara dan mendidik anaknya dengan sebaik0baiknya (Pasal 45 UU No. 1 / 1974).
Anaknya setelah dewasa wajib memelihara orangtuanya dalam garis lurus keatas menurut kemampuan sianak itu sendiri (Pasal 46 UU No. 1 / 1974).
Semua anak yang masih dibaeah umur (21 tahun) atau belum kawin berada di bawah kekuasaan orangtua, artinya orangtua mempunyai kewajiban alimentasi yaitu kewajiban untuk memelihara, mendidik, memberi nafkah hingga anak dewasa / kawin. Dan sebaliknya, sianak juga wajib patuh terhadap orangtua dan apabila anak itu telah berkeluarga wajib dalam kekuasaan orangtua termasuk didalamnya hak menguasai kekayaan anaknya dan berhak menikmati hasil dari kekayaan itu.
- Berakhirnya kekuasaan orangtua apabila:
1. Anaknya telah dewasa / kawin.
2. Perkawinan orangtua putus.
3. Kekuasaan orangtua di cabut oleh hakim.
4. Anaknya dibebaskan dari kekuasaan orangtua (orangtua tidak mampu menguasai dan mendidik anaknya karena dianggap terlalu nakal.

b. Perwalian (Voogdij)
Dasar hukumnya adalah pasal 50 UU No. 1 / 1974 yang berbunyi antara lain, anaknya yang berumur 18 tahun atau belum menikah tetapi tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, maka ia berada di bawah perwalian.
Seorang anak dapat tidak berada di bawah kekuasaan orangtua karena beberapa hal. Salah satunya bisa karena keadaan terpaksa seperti ditinggal kedua orangtuanya (yatim piatu) atau kekuasaan orangtua dicabut. Sedangkan anak-anak memerlukan bimbingan dan pemeliharaan. Oleh karena itu perlu ditunjuk seorang wali yang dapat berupa orang atau yayasan yang akan mengurus keperluan dan kepentingan hukum anak itu.
-Perwalian dapat terjadi karena:
Perkawinan orangtua putus (baik karena kematian maupun perceraian).
Kekuasaan orangtua dicabut atau dibebaskan.
-Kekuasaan orangtua dicabut karena:
1. Melalaikan kewajiban.
2. Bertindak sangat buruk
Dalam keadaan kekuasaan orangtua dicabut, hakim akan mengangkat seorang wali pengawas. Wali pengawas di Indonesia dijalankan oleh balai harta peninggalan.
c. Pengampunan (Curatele)
Orangtua yang ditaruhkan dibawah pengampunan (curatele) adalah orang-orang yang sudah dewasa tetapi tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri dengan baik seperti:
Orang yang sakit ingatan.
Orang yang pemboros.
Orang yang tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri dengan baik.
d. Pendewasaan (Handlichting)
e. Orang yang hilang

Hukum keluarga meliputi:
- Perkawinan perkawinan dengan semua segi-seginya serta akibat yang timbul dari adanya perkawinan ( peristiwa-peristiwa hukum yang mungkin hanya timbul karena adanya perkawinan) dan bahkan seringkali mengatur hubungan antara orang dengan anak luar perkawinannya,yang tidak dapat dikatakam merupakan akibat suatu perkawinan.
Karena yang akan kita bicarakan disini adalah hukum keluarga menurut KUHPerdata dan UU perkawinan, maka kita perlu mendahuluinya dengan meninjau hubungan antara UU perkawinan dengan KUHPerdata.
Pasal 67 UU No. 1/1974 mengatakan, bahwa “UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan’ yang pelaksanannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengn peraturan pemerintah.
Adapun peraturan pemerintah yang dimaksudkan oleh pasal 67 tersebut diatas adalah Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 yang judul resminya adalah Peraturan Pemerintah pelaksanaan UU No. 1/1974 tentang perkawinan.
Untuk menghindarkan terjadinya kekacauan dalam penafsiran istilah-istila hukum keluarga, maka untuk selanjutnya kita bedakan antara”perkawinan” dan “hubungan kekeluargaan sebagai akibat dari suatu perkawinan”.
Kata “segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan” kita artikan sebagai semua hubungan kekeluargaan yang muncul sebagai akibat dari suatu perkawinan (bukan perkawinan itu sendiri), termasuk hubungan antara wali dan orang yang berada perwaliannya dan antara curator dengan curandus.istilah tersebut meliputi semua masalah-masalah (hukum) yang berkaitan dengan perkawinan, dilua perkawinan itu sendiri.[1]





B. Perumusan Masalah
Dari beberapa penjelasan singkat mengenai hukum keluarga tadi dapat kita tarik beberapa pokok permasalahan:
Bagaimana kedudukan anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah?
Bagaimana dengan status hak asuh anak apabila kedua orangtuanya telah melakukan perceraian?

C. Tujuan
Agar dapat mengetahui permasalahan keluarga yang ada didalam masyarakat dan cara penyelesaian permasalahan tersebut. Selain itu supaya dapat lebih memahami hukum keluarga dari permasalahan yang diangkat dari dalam masyarakat yang telah ada.




BAB II
PEMBAHASAN
1. Kedudukan anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah.
a. Berdasarkan KUHPerdata.
Menurut KUHPdt bagian kedua tentang pengesahan anak-anak luar kawin. Dalam pasal 272. yang berbunyi, “kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zinah atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan diluar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, akan menjadi sah, apabila kedua orantua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang atau, apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri”.
Dalam pasal 273 KUHPdt yang berbunyi, “Anak yang silahirkan dari bapak dan ibu, antara siapa tanpa dispensasi Presiden tak boleh diadakan perkawinan, tak dapat disahkan, melainkan dengan cara mengakuinya dalam akta perkawinan”.
Dalam pasal 274 KUHPdt yang berbunyi, “ Jika kedua orangtua sebelum atau tatkala menikah telah melalaikan mengakui anak-anak mereka diluar nikah, maka kelalaian ini dapat diperbaiki dengan surat pengesahan Presiden, yang man akan diberikan setelah didengarnya nasihat Mahkamah Agung.
Dalam Pasal 275. KUHPdt yang berbunyi, “Dengan cara yang sama seperti tersebut dalam pasal yang lalu, dapat juga disahkan, anak-anak luar kawin yang telah diakui menurut undang-undang:
1e. apabila anak-anak itu dilahirkan dari bapak dan ibu, yang mana, karena meninggalnya seorang diantaranya, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang telah mereka rancang.
2e. apabila anak-anak itu dilahirkan oleh seorang ibu termasuk golongan Indonesia atau golongan yang telah dipersamakan dengan itu dan ibu itu telah meninggal dunia atau, jika menurut pertimbangan Presiden ada keberatan-keberatan penting terhadap perkawinan antara si bapak dan si ibu”.
Pasal 276 KUHPdt, yang berbunyi, “Dalam hal-hal yang tercantum dalam kedua pasal yang lalu, jika dipandang perlu, Mahkamah Agung sebelum memberikan nasihatnya harus mendengar atau menyuruh mendengar terlebih dahulu para keluarga sedarah si pemohon, bahkan harus memerintahkan pula supaya permintaan pengesahan itu dumumkan dalam Berita Negara.
Selanjutnya Pasal 277. Pengesahan anak, baik dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, maupu dengan surat pengesahan menurut pasal 274, mengakibatkan, bahwa terhadap anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan undang-undang yang sama seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan.
Selanjutnya pasal 278, berbunyi, Dalam hal-hal teratur dalam pasal 275. pengesahan itu memperoleh kekuatan yang berlaku, mulai hari surat pengesahan diberikan oleh Presiden: akan merugikan anak-anak sah sebelumnya, seperti pu pengesahan itu dalam hal pewarisan tak akan berlaku pula terhadap para keluarga sedarah lainnya, kecuali sekadar mereka yang akhir ini telah menyetujui pemberian surat pengesahan itu.
Pasal 279 KUHPdt yang berbunyi, “Dengan cara yang sama dan menurut ketentuan-ketentuan yang sama pula seperti termuat dalam pasal-pasal sebelumnya. Anak-anak yang telah meninggal dunia dan meninggalkan keturunannya, boleh juga disahkan, pengesahan mana adalah demi kebahagian sekalian keturunan itu”.[2]
Menurut KUHPdt bagian ketiga, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar pernikahan, pasal 280 yang berbunyi, “Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin. Timbullah hubungan perdata si anak dan bapak atau ibunya”.
Selanjutnya pasal 281 yang berbunyi, “Pengakuan terhadap seorang anak luar kawin , apabila yang demikian itu tidak telah dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap-tiap otentik.
Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan dalam register kelahiran menurut hari penanggalannya. Pengakuan ini harus dicatat dalam jihat akta kelahiran.
Jika Pengakuan itu dilakukan dengan akta otentik lain, maka masing-masing yang berkepentingan berhak menuntut pencatan pengakuan itu dalam jihat akta kelahiran si anak.
Namun bagaimana tak bolehlah sesuatu kelalaian mencatatkan pengakuan itu dipersalahkan kepada anak yang diakui. Untuk mempertengkarkan kedudukan yang diperolehnya.
Selanjunya pasal 282 KUHPdt yang berbunyi, pengakuan terhadap seorang anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa, adalah tanpa guna, kecuali si belum dewasa itu, telah mencapai umur genap sembilan belas tahun dan pengakuan yang dilakukannya pun bukan akibat paksa, khilaf, tipu, atau bujuk.
Anak perempuan belum dewasa sementara itu, boleh melakukan pengakuan, pun kendati belum mencapai umur sembilan belas tahun.[3]
Dari pasal-pasal tersebut sudah sangat jelas diterangkan masalah-masalah dan cara-cara pengesahan anak yang diluar pernikahan. Dalam hal ini kami tambahkan pasal-pasal tentang pengakuan terhadap anak-anak luar pernikahan.
Undang-undang hanya mengenal dua golongan anak:
1. anak yang sah dari kedua orangtuanya.
2. anak yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluargs si ibu yang melahirkan.
Mengenai anak yang sah ini diatur dalam pasal 42, yang berisi ketentuan: Anak yang sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan ini dapat kita simpulkan, bahwa anak yang sah ialah:
Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan.
Dan kelahirannya harus dari perhubungan perkawinan yang sah.
Kalau begitu anak yang sah itu harus dengan jelas diketahui bapak dan ibunya yang telah resmi secara hukum terikat dalam suatu perkawinan yang sah.[4]


2. Status hak asuh anak apabila kedua orangtuanya telah melakukan perceraian.
Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, maka baik Bapak atau Ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya (pasal 41).
Pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak dibawah umur kepada ibu. Dasarnya, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Dan didukung dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa “anak dibawah asuhan ibunya.” Jika anak sudah bisa memilih, ia dipersilahkan memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
Yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak adalah bapak; bilamana bapak kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.[5]
Sesuai dengan ayat a pasal 41 diatur ketentuan :
Baik ibu dan bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
Dengan memperhatikan bunyi ketentuan diatas jelas kita lihat pengarahan keluarga dan pemeliharaan anak-anak yang lahir dari perceraian parental stelsel. Kepada kedua orangtua (ibu dan bapak) hukum memberi hak yang legal kepada kedua orangtua tadi untuk melaksanakan pemeliharaan atau perwalian terhadap anak-anak mereka sesudah perceraian. Mereka mempunyai hak yang sama (equality) untuk melaksanakan segala kepentingan pemeliharaan anak-anak. Sama berhak dan bertanggung jawab menyantuni baik pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran serta kesejahraan anak-anak tersebut. Akan tetapi kita berpendapat hak persamaan yang demikian tidak lebih merupakan konsep yang sangat teoritis sekali tapi sangat tak mungkin untuk pelaksanaannya.[6]

a. Yang Lebih Berhak Melakukan Pemeliharaan Anak Sesudah Perceraian.
Diatas sekedar gambaran sudah kami perlihatkan dasar hukum sebagai bahan orientasi kita dalam masalah ini.
Kalau kita berpegang kepada hukum adapt yang murni pemeliharaan ditentukan oleh kekerabatan yang menjadi susunan masyarakat tempat jadinya perceraian. Sedang berdasarkan hukum Islam hak pemeliharaan itu lebih mutlak berada ditangan ibu. Dan kalau menurut common law inggeris yang murni bapak mempunyai hak yang tinggi dalam pemeliharaan anak. Akan tetapi seperti yang sering kita katakan, hukum itu adalah aturan hidup yang sangat elastis. Perubahan kesadaran aturan hukum yang menjadi tertib masyarakat itu memaksa. Elastisitet hukum itu kearah kesadaran yang dihayati oleh masyarakat.
Sebelum kita memberi dasar-dasar alasan siapa yang lebih pantas menjadi pengasuh anak-anak dalam suatu perceraian, baiklah kami memberikan beberapa yurisprudensi Pengadilan di Indonesia sendiri tentang apa yang menjadi persoalan kita sekarang. Misalnya kita ambil putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai tanggal 2 April 1973, diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 2 Juli 1973 No. 205/1973 telah menetapkan kira-kira berbunyi: bahwa pada dasarnya Pengadilan sudah setuju denagan keputusan Mahkamah Syariah No. 159/1972 yang telah menetapkan pemeliharaan anak-anak diserahkan kepada ibunya.[7]
b. Umumnya Pilihan Pemeliharaan Diserahkan Pada Ibu, Terutama Apabila Anak-anak Masih Kecil.
Sebagaiman kita terangkan pemeliharaan anak itu pada prisipnya didasarkan pada kriterium; kepentingan kesejahteraan anak (the welfare and the happinees atau the best interest of the child). Sehingga ukuran bahwa bapak yang lebih utama ataupun kembali kepada kerabat sesuai dengan susunan kekeluargaan yang bersangkutan tidak dapat dipertahankan lagi.
Pada keputusan-keputusan yang kita utarakan diatas Pengadilan pada semua putusan telah menjatuhkan pilihan pemeliharaan itu pada ibu. Pilihan ini didasarkan pada beberapa ukuran objektif disamping dihubungkan dengan kepentingan anak dihubungkan dengan rasa kemanusiaan dan faktor kasih sayang:
Bahwa apabila anak-anak akibat perceraian itu masih berumur kecil yang benar-benar memerlukan belaian yang lemah lembut dan kasih sayang dengan perawatan yang penuh ketabahan adalah lebih serasi jika pemeliharaan anak itu diberikan pada si ibu demi untuk kepentingan anak itu ditinjau dari segi kemanusiaan palagi anak tersebut masih menyusui ataupun masih berumur 2 atau 3 tahun adalah sesuatu yang sangat menyayat hati nurani kemanusiaan untuk memisahkan anak dengan ibunya dalam keadaan pemisahan hidup bukan karena pemisahan disebabkan meninggal.
Pada umumnya ibu lebih memilih terikat apada tempat kediaman dibandingkan dengan ayah yang setiap pagi sampai petang hampir sibuk diluar rumah sehingga percurahan kasih sayang tidak sepenuhnya dapat diberikan oleh ayah, sedangkan ibu lebih banyak tinggal dirumah bersama anak yang menyebabkan pemeliharaan dan ikatan kasih sayang itu setiap saat berlangsung timbal-balik antara anak dengan si ibu.
Jadi kesimpulannya dalam hal ini masih butuh pertimbangan faktor-faktor dengan suatu evaluasi dan penilaian. Jika menurut pertimbangan siibu tidak akan dapat diharapkan memberi jaminan mengurus kepentingan pemeliharaan anak, maka prioritas selanjutnya adalah jatuh kepada orangtua laki-laki. Hal ini kami rasa adalah alas an yang fundamental. Sebab bagaimanapun terutama dalam pertumbuhan masyarakat bangsa kita, sesuai pula dengan dasar hukum legal bahwa kedua orang tua adalah yang paling berhak atas anak-anak mereka. Juga hal ini dapat ditinjau dari segi edukatipnya, sekalipun misalnya neneknya akan memberi segala fasilitas yang menjamin kebutuhan si anak. Bagaimanapun nenek akan berbuat hal-hal yang memenjakan anak yang berakibat lebih merusak pertumbuhan kejiwaan anak menjadi anggota masyarakat yang tak dapat berdiri sendiri didalam kehidupan masyarakatnya dibelakang hari. Tetapi seperti yang kami katakan diatas hal itu semua terpulan pada faktor-faktor yang telah diterangakan diatas. Bahwa sekalipun ibu atau ayah mempunyai hak hukum yang lebih utama terhadap anak akan tetapi jika nyata akan lebih menjerumuskan anak itu; lebih baik diserahkan pada neneknya.[8]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kalau kita hendak mempelajari hukum keluarga,kita tidak cukup hanya mempelajarinya dari UU hukum perkawinan,tetapi kita masih perlu mempeljari hukum keluarga yang diatur dalam KUHPerdata,Ordonantie prkawinan Kristen Indonesia, peraturan perkawinan campuran dan peraturan-peraturan lain.
Ketentuan pasal 66 UU perkawianan adalah sejalan dengan pasal 47 PP No. 9/1975, yaitu isinya:
“ Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini,maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tebtang perkawinan sejauh telah diatur didalam Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku.
Walaupun demikian ada sedikit perbedaan antara keduanya, karena dalam pasal 47 PP No. 9/1975 digunakan kata-kata “Perundang-undangan” yang memiliki ruang liongkup lebih sempit dibandingkan dengan kata “Peraturan-peraturan lain”.
“kata Perundang-undangan” menunjuk peraturan tertulis dari peraturan tersebut. Namun jangan lupa, bahwa peraturan Pemerunatah No. 9/1975 adalah peraturan pelaksanaan dan jika kita simak isi dari Peraeturan Pemerintah 9/1975, maka akan diketahui bahwa yang diatur didalamnya adalah segi-segi fomalitas dari perkawinan saja, dan segi tata perkawinan diwaktu yang lampau (sebelum 1 Oktober 1975) memeng diatur dalam peraturan tertulis seperti :
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1945 tentang penetapan Undang-Undang 22/46 berlaku untuk seluruh Indonesia.
- Peraturan Menteri Agama Nomor 1/1955.
- Peraturan Menteri Agama Nomor 2/1954.
- Peraturan-peraturan pelaksanaan B>W seperti:
o Peraturan tentang Register Burgerlijk Stand untuk orang-orang Eropa s.1917 : 531 dan s.1919 : 816.
o S.1972 :166 tentang weeshamer (balai harta peninggalan)
o S.1972 : 382 tentang voogdijreuen ( balai perwalian)
o Peraturan-peraturan pelaksanaan Ordonantie Perkawinan Kristen Indonesia.
o Peraturan pelaksanaan peraturan perkawinan campuran.




DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T. Drs, SH, Peraturan Tata Hukum Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta; 1981.
Subekti, R. Prof. S.H; Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA; Pradnya Paramita; Jakarta; 2008.
http//www.google.com/permasalahanhukumkeluarga.
Harahap, Yahya M. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan; 1975.
Subekti, R. Prof. S.H; Pokok-pokok Hukum Perdata; P.T. Intermasa; Jakarta; 2008

[1] Prof. R. Subekti. S.H; Pokok-pokok Hukum Perdata; P.T. Intermasa; Jakarta; 2008

[2] Prof. R. Subekti, S.H; Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA; Pradnya Paramita; Jakarta; 2008; halaman 68.
[3] Prof. R. Subekti, S.H; Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA; Pradnya Paramita; Jakarta; 2008; halaman 69.

[4] M. Yahya Harahap. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan;1975; halaman 183
[5] http//www.google.com/permasalahanhukumkeluarga
[6] M. Yahya Harahap. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan;1975; halaman 183
[7] M. Yahya Harahap. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan;1975; halaman 183

[8] M. Yahya Harahap. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan;1975; halaman 183