Minggu, 28 Maret 2010

Komentar PP No 19 Tahun 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2010
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR
SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DI WILAYAH PROVINSI


Latar Belakang

Dasar dibentuknya PP no 19 ini mengingatPasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.
Selain ketentuan – ketentuan tersebut PP 19 Tahun 2010 tidak sedikit pun mengeliminasi pasal-pasal yang ada dalam UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, tapi bobot kewenangan gubernur diperkuat dan titik otonomi daerah tetap di kabupaten/kota.



Tujuan
PP no 19 tahun 2010 dibentuk dengan tujuan membagi kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintahan daerah, dalam PP tersebut, Gubernur bisa memberi sanksi kepada Bupati/Walikota yang dianggap membandel di wilayahnya. Kapuspen Kemendagri Saut Situmorang mengatakan, dalam PP tersebut kewenangan Gubernur bakal diperkuat. Posisi Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah diwujudkan pada kewenangan untuk melakukan fungsi pembinaan, evaluasi dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota. Selain itu, Gubernur akan selalu dilibatkan dalam koordinasi dengan instansi vertikal dan Pemkab/Pemkot. Ini membuat Pemkab/Pemkot tak bakal bisa bergerak sendiri. Tiap kali ada kementerian sektoral yang melaksanakan pembangunan di wilayah tersebut, harus berkoordinasi dengan Gubernur.
Selain itu tujuan PP 19/2010 supaya gubernur punya kewenangan memberi sanksi terhadap bupati dan wali kota yang tak mengindahkan imbauan atau menjalankan ketentuan yang ada.

Komentar
Menurut saya PP no 19 tahun 2010, Posisi Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah semakin kuat. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Dalam PP tersebut, Gubernur bisa memberi sanksi kepada Bupati/Walikota yang dianggap membandel di wilayahnya. Kapuspen Kemendagri Saut Situmorang mengatakan, dalam PP tersebut kewenangan Gubernur bakal diperkuat. Posisi Gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah diwujudkan pada kewenangan untuk melakukan fungsi pembinaan, evaluasi dan pengawasan terhadap Bupati/Walikota.
Selain itu, Gubernur akan selalu dilibatkan dalam koordinasi dengan instansi vertikal dan Pemkab/Pemkot. Ini membuat Pemkab/Pemkot tak bakal bisa bergerak sendiri. Tiap kali ada kementerian sektoral yang melaksanakan pembangunan di wilayah tersebut, harus berkoordinasi dengan Gubernur.
PP tersebut berdampak pada mekanisme pelantikan Gubernur berubah. Gubernur yang biasanya dilantik Mendagri akan dilantik langsung oleh Presiden. Ini sebagai perwujudan perwakilan pemerintah pusat di daerah.
Selain itu, Gubernur juga bisa memberi sangsi. Pasal 7 ayat 4 menyebutkan, pemerintah kabupaten/kota yang dengan sengaja tidak ikut dalam pelaksanaan koordinasi akan dikenakan sanksi. Sanksi tersebut, kata Saut, tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yakni, Gubernur mengajukan kepada pemerintah pusat agar diberi sanksi berdasarkan alasan-alasan tertentu. PP ini akan semakin membuat raja-raja kecil di daerah terus berkurang. Sebab, mau tidak mau para Bupati/Walikota harus terus berkoordinasi dengan Gubernur. Tidak seperti selama ini. Semuanya bergerak sendiri-sendiri. Bahkan, diundang rapat koordinasi oleh Gubernur, tidak ada yang mau hadir.
Dalam PP ini gubernur diberi kewenangan (1) menetapkan pengangkatan dan pemberhentian sekretaris daerah kabupaten/kota, (2) menjaga norma dan etika penyelenggaraan pemerintahan daerah (3) mengevaluasi rancangan peraturan daerah tentang APBD, pajak, retribusi, tata ruang wilayah kabupaten/kota. (4) pengawasan peraturan kepala daerah (perkada) termasuk membatalkannya, (5) melakukan pengawasan kinerja pemerintah daerah, (6) pengawasan pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. (7) memberikan persetujuan tertulis terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota, atas permintaan aparat penegak hukum, (8) memberikan penghargaan dan sanksi kepada bupati dan walikota terkait dengan kinerja, pelaksanaan kewajiban sebagai kepala daerah dan pelanggaran sumpah/janji.Dari pengamatan penulis, setidaknya terdapat lima jenis sanksi yang diatur dalam PP ini .
Bupati/walikota dapat diberi sanksi jika tidak melaksanakan kewajiban berupa menaati dan menegakkan semua peraturan perundang-undangan, menjaga etika dan norma pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal (27) UU 32/2004 Tentang Pemerintahan daerah dan pasal (9) PP 38/2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota).
Melanggar larangan bagi bupati/walikota antara lain membuat keputusan yang memberikan keuntungan bagi diri, keluarga, kroni, kelompok tertentu, kelompok politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, mendiskriminasikan golongan tertentu sebagaimana diatur dalam pasal (28) UU 32/2004.
Melanggar sumpah/janji sebagaimana diatur dalam pasal 110 UU No. 32/2004. (d) Jika kinerja bupati/walikota rendah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah yang diukur berdasarkan pasal (58) PP No. 6/2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah)
Jika bupati/walikota tidak melaksanakan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) dan tidak melaksanakan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal (SPM) sebagaimana diatur dalam pasal 17 PP 38/2007 dan psl 19 (1) PP 65/2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal).
Tidak mengindahkan hasil pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh gubernur sesuai pasal 45 ayat 2 PP 79/2005 Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.Namun yang menjadi pertanyaan adalah ‘’Apa bentuk sanksi dan tata cara penjatuhan sanksi kepada bupati/walikota seandainya terjadi pelanggaran?’’ Dalam peraturan pemerintah ini tidak jelas diuraikan.