Jumat, 26 Maret 2010

Tindak pidana terhadap harta kekayaan

Ø DEFINISI
Tindak pidana terhadap harta kekayaan adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak), dimuat dalam Buku II KUHP yaitu :
1. Pencurian (diefstal), diatur dalam Bab XXII. ( Pasal - pasal Pencurian)
2. Pemerasan dan Pengancaman (afpersing dan afdreiging), diatur dalam Bab XXIII. ( Pasal - pasal Pemerasan dan Pengancaman)
3. Penggelapan (verduistering), diatur dalam Bab XXIV. ( Pasal - pasal Penggelapan)
4. Penipuan (bedrog), diatur dalam Bab XXV. ( Pasal - pasal Penipuan)
5. Penghancuran dan Perusakan Benda (vernieling of beschadiging van goederen), diatur dalam Bab XXVII. (Pasal - pasal Penghancuran dan Perusakan Benda)

~ UNSUR - UNSUR TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA KEKAYAAN

> Unsur - Unsur Objektif berupa :
Unsur perbuatan materiil, seperti perbuatan mengambil pada pencurian, perbuatan memiliki pada penggelapan, perbuatan menggerakkan (hati) pada penipuan, perbuatan memaksa pada pemerasan dan pengancaman, perbuatan menghancurkan dan merusakkan pada penghancuran dan perusakan barang.
Unsur benda atau barang.
Unsur keadaan yang menyertai terhadap objek benda, yakni unsur milik orang lain yang menyertai/melekat pada unsur objek benda tersebut.
Unsur upaya - upaya yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang, seperti kekerasan atau ancaman kekerasan dalam kejahatan pemerasan, atau dengan memakai nama palsu, kedudukan palsu, tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan dalam melakukan perbuatan menggerakkan (hati) orang lain pada kejahatan penipuan.
Unsur akibat konstitutif, berupa unsur yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang (perbuatan materiil), seperti orang menyerahkan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang dari kejahatan penipuan (pasal 378 KUHP). Unsur ini sebenarnya juga merupakan tujuan/yang dikehendaki petindak dalam kejahatan - kejahatan ini.

> Unsur - Unsur Subjektif berupa :
Unsur kesalahan, yang dirumuskan dengan kata - kata seperti : dengan maksud pada kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan dan pangancaman, atau dengan sengaja pada kejahatan penggelapan, perusakan dan penghancuran barang, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga pada kejahatan penadahan.
Unsur melawan hukum, yang dirumuskan secara tegas dengan perkataan melawan hukum dalam kejahatan - kejahatan pencurian, pemerasan, pengancaman, penggelapan, dan perusakan barang.

Unsur - unsur kejahatan terhadap harta benda di samping unsur - unsur yang terdapat dalam bentuknya yang pokok sebagaimana tersebut di atas, terdapat pula unsur - unsur yang khusus pada masing - masing bentuk baik yang bersifat memberatkan maupun yang bersifat meringankan kejahatan itu. Sebagaimana contoh unsur kekerasan atau ancaman kekerasan pada kejahatan pencurian dengan kekerasan (pasal 365 KUHP) atau unsur benda dalam kekuasaannya karena hubungan kerja, pencaharian atau mendapat upah untuk itu pada penggelapan (pasal 374 KUHP).
Pada bentuk - bentuk yang meringankan seperti unsur nilai objek kurang dari Rp. 250,00 pada pencurian ringan (pasal 364 KUHP), penipuan ringan (pasal 379 KUHP) dan penggelapan ringan (pasal 373 KUHP).
Unsur khusus pada bentuk khusus tindak pidana terhadap harta benda sebagaimana tersebut di atas adalah yang bersifat objektif. Sedangkan yang bersifat subjektif, misalnya karena kealpaannya pada pasal 409 KUHP yang bersifat meringankan.[1]

A. Pencurian

v DEFINISI
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur - unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi : "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00". Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur - unsur ojektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan unsur - unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum). Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut di atas.

Ø UNSUR - UNSUR PENCURIAN
v Unsur - Unsur Objektif berupa :
1. Unsur perbuatan mengambil (wegnemen). Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan - gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari - jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau ke dalam kekuasaannya. Sebagaimana dalam banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari - jari sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mangambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak (Kartanegara, 1:52 atau Lamintang, 1979:79-80). Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa "perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui".

2. Unsur benda. Pada mulanya benda - benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda - benda bergerak (roerend goed). Benda - benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda - benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawan dari benda bergerak.

3. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (pasal 372). Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain? Orang lain ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap benda - benda milik suatu badan misalnya milik negara. Jadi benda yang dapat menjadi objek pencurian ini haruslah benda - benda yang ada pemiliknya. Benda - benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.

Unsur - Unsur Subjektif berupa :
1. Maksud untuk memiliki. Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri (Satochid Kartanegara 1:171) atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubung kan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan per­ buatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.

2. Melawan hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan kete­ rangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya (Moeljatno, 1983:182). Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. Dalam praktik hukum terbukti mengenai melawan hukum dalam pencurian ini lebih condong diartikan sebagai melawan hukum subjektif sebagaimana pendapat Mahkamah Agung yang tercermin dalam pertimbangan hukum putusannya (No. 680 K/Pid/1982 tanggal 30-7-1983). Dimana Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (yang menghukum) dan membebaskan terdakwa dengan dasar dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dengan pertimbangan hukum "tidak terbukti adanya unsur melawan hukum". Sebab pada saat terdakwa mengambil barang-barang dari kantor, dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwaadalah milik almarhum suaminya. Sebagai seorang ahli waris, terdakwa barhak mengambil barang-barang tersebut (Yahya Harahap, 1988:868). Pada bagian kalimat yang berbunyi "dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah milik almarhum suaminya" adalah merupakan penerapan pengertian tentang melawan hukum subyektif pencurian pada kasus konkrit dalam putusan pengadilan. Walaupun sesungguhnya tidak berhak mengambil sebab barang bukan milik suaminya, tetapi karena dia beranggapan bahwa barang adalah milik suaminya, maka sikap batin terhadap perbuatan mengambil yang demikian, adalah merupakan tiadanya sifat melawan hukum subyektif sebagaimana yang dimaksud pasal 362 KUHP. Sedangkan apa yang dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Dilihat dart mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil, dan kedua melawan hukum materiil. Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis. Seperti pendapat Simons yang menyatakan bahwa untuk dapat dipidananya perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam undang-undang (Moeljatno, 1983:132). Sedangkan melawan hukum materiil, ialah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat, azas mana dapat saja dalam hukum tidak tertulis maupun sudah terbentuk dalam hukum tertulis. Dengan kata lain dalam melawan hukum mate­ rill ini, sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan terletak pada masyarakat. Sifat tercelanya suatu perbuatan dari sudut masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pendapat Vos yang menyatakan bahwa melawan hukum itu sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dikehendaki atau tidak diperbolehkan (Moeljatno, 1983:131). [2]


[1] Pakarhukum.sitego.net/tindakpidanaterhadaphartakekayaan.php.
[2] Pakarhukum.sitego.net/pencurian.php.

Hukum keluarga

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum keluarga menurut doctrine adalah hukum yang mengatur perkawinan keturunan.
Hukum keluarga menurut K.U.H.Perdata pada asasnya mengatur tentang:
- Perkawinan
- Akibat hukum dari perkawinwn terhadap:
- Suami istri
-mengenai diri/person suami istri
-mengenai harta benda suami istri
-anak
-anggota keluaga yang lain
- Hubungan antara wali dan pupilnya
- Hubungan antara curator dengan Curandus
Keluarga merupakan kesatuan terkecil dari masyarakat. Ia merupakan soko guru dari masyarakat. Pendidikan anggota masyarakat dimulai dari sana.dari keluarga yang sehat dan sejahtera dapat diharapkan adanya masyarakat yang sehat dan tertib.
Didalam hubungan kekeluargaan ,moral, sopan santun, dan agama memainkan peranan yang sangat mendalam. Menjunjung tinggi moral dan ketertiban umum merupakan kewajiban negara. Itulah sebabnya negara mengeluarkan banyak peraturan tentang hukum keluaga yang bersifat memaksa.
Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan-peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup kekeluargaan. Termasuk hukum keluarga antara lain ialah:
a. Kekuasaan Orangtua (Ouderlijk Macht)
Dasar hukumnya adalah UU No. 1 / 1974 Pasal 45,46,48, dan 49 dengan ruang lingkup:
Orangtua wajib memelihara dan mendidik anaknya dengan sebaik0baiknya (Pasal 45 UU No. 1 / 1974).
Anaknya setelah dewasa wajib memelihara orangtuanya dalam garis lurus keatas menurut kemampuan sianak itu sendiri (Pasal 46 UU No. 1 / 1974).
Semua anak yang masih dibaeah umur (21 tahun) atau belum kawin berada di bawah kekuasaan orangtua, artinya orangtua mempunyai kewajiban alimentasi yaitu kewajiban untuk memelihara, mendidik, memberi nafkah hingga anak dewasa / kawin. Dan sebaliknya, sianak juga wajib patuh terhadap orangtua dan apabila anak itu telah berkeluarga wajib dalam kekuasaan orangtua termasuk didalamnya hak menguasai kekayaan anaknya dan berhak menikmati hasil dari kekayaan itu.
- Berakhirnya kekuasaan orangtua apabila:
1. Anaknya telah dewasa / kawin.
2. Perkawinan orangtua putus.
3. Kekuasaan orangtua di cabut oleh hakim.
4. Anaknya dibebaskan dari kekuasaan orangtua (orangtua tidak mampu menguasai dan mendidik anaknya karena dianggap terlalu nakal.

b. Perwalian (Voogdij)
Dasar hukumnya adalah pasal 50 UU No. 1 / 1974 yang berbunyi antara lain, anaknya yang berumur 18 tahun atau belum menikah tetapi tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, maka ia berada di bawah perwalian.
Seorang anak dapat tidak berada di bawah kekuasaan orangtua karena beberapa hal. Salah satunya bisa karena keadaan terpaksa seperti ditinggal kedua orangtuanya (yatim piatu) atau kekuasaan orangtua dicabut. Sedangkan anak-anak memerlukan bimbingan dan pemeliharaan. Oleh karena itu perlu ditunjuk seorang wali yang dapat berupa orang atau yayasan yang akan mengurus keperluan dan kepentingan hukum anak itu.
-Perwalian dapat terjadi karena:
Perkawinan orangtua putus (baik karena kematian maupun perceraian).
Kekuasaan orangtua dicabut atau dibebaskan.
-Kekuasaan orangtua dicabut karena:
1. Melalaikan kewajiban.
2. Bertindak sangat buruk
Dalam keadaan kekuasaan orangtua dicabut, hakim akan mengangkat seorang wali pengawas. Wali pengawas di Indonesia dijalankan oleh balai harta peninggalan.
c. Pengampunan (Curatele)
Orangtua yang ditaruhkan dibawah pengampunan (curatele) adalah orang-orang yang sudah dewasa tetapi tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri dengan baik seperti:
Orang yang sakit ingatan.
Orang yang pemboros.
Orang yang tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri dengan baik.
d. Pendewasaan (Handlichting)
e. Orang yang hilang

Hukum keluarga meliputi:
- Perkawinan perkawinan dengan semua segi-seginya serta akibat yang timbul dari adanya perkawinan ( peristiwa-peristiwa hukum yang mungkin hanya timbul karena adanya perkawinan) dan bahkan seringkali mengatur hubungan antara orang dengan anak luar perkawinannya,yang tidak dapat dikatakam merupakan akibat suatu perkawinan.
Karena yang akan kita bicarakan disini adalah hukum keluarga menurut KUHPerdata dan UU perkawinan, maka kita perlu mendahuluinya dengan meninjau hubungan antara UU perkawinan dengan KUHPerdata.
Pasal 67 UU No. 1/1974 mengatakan, bahwa “UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan’ yang pelaksanannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengn peraturan pemerintah.
Adapun peraturan pemerintah yang dimaksudkan oleh pasal 67 tersebut diatas adalah Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 yang judul resminya adalah Peraturan Pemerintah pelaksanaan UU No. 1/1974 tentang perkawinan.
Untuk menghindarkan terjadinya kekacauan dalam penafsiran istilah-istila hukum keluarga, maka untuk selanjutnya kita bedakan antara”perkawinan” dan “hubungan kekeluargaan sebagai akibat dari suatu perkawinan”.
Kata “segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan” kita artikan sebagai semua hubungan kekeluargaan yang muncul sebagai akibat dari suatu perkawinan (bukan perkawinan itu sendiri), termasuk hubungan antara wali dan orang yang berada perwaliannya dan antara curator dengan curandus.istilah tersebut meliputi semua masalah-masalah (hukum) yang berkaitan dengan perkawinan, dilua perkawinan itu sendiri.[1]





B. Perumusan Masalah
Dari beberapa penjelasan singkat mengenai hukum keluarga tadi dapat kita tarik beberapa pokok permasalahan:
Bagaimana kedudukan anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah?
Bagaimana dengan status hak asuh anak apabila kedua orangtuanya telah melakukan perceraian?

C. Tujuan
Agar dapat mengetahui permasalahan keluarga yang ada didalam masyarakat dan cara penyelesaian permasalahan tersebut. Selain itu supaya dapat lebih memahami hukum keluarga dari permasalahan yang diangkat dari dalam masyarakat yang telah ada.




BAB II
PEMBAHASAN
1. Kedudukan anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah.
a. Berdasarkan KUHPerdata.
Menurut KUHPdt bagian kedua tentang pengesahan anak-anak luar kawin. Dalam pasal 272. yang berbunyi, “kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zinah atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan diluar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, akan menjadi sah, apabila kedua orantua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang atau, apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri”.
Dalam pasal 273 KUHPdt yang berbunyi, “Anak yang silahirkan dari bapak dan ibu, antara siapa tanpa dispensasi Presiden tak boleh diadakan perkawinan, tak dapat disahkan, melainkan dengan cara mengakuinya dalam akta perkawinan”.
Dalam pasal 274 KUHPdt yang berbunyi, “ Jika kedua orangtua sebelum atau tatkala menikah telah melalaikan mengakui anak-anak mereka diluar nikah, maka kelalaian ini dapat diperbaiki dengan surat pengesahan Presiden, yang man akan diberikan setelah didengarnya nasihat Mahkamah Agung.
Dalam Pasal 275. KUHPdt yang berbunyi, “Dengan cara yang sama seperti tersebut dalam pasal yang lalu, dapat juga disahkan, anak-anak luar kawin yang telah diakui menurut undang-undang:
1e. apabila anak-anak itu dilahirkan dari bapak dan ibu, yang mana, karena meninggalnya seorang diantaranya, tidak dapat melangsungkan perkawinan yang telah mereka rancang.
2e. apabila anak-anak itu dilahirkan oleh seorang ibu termasuk golongan Indonesia atau golongan yang telah dipersamakan dengan itu dan ibu itu telah meninggal dunia atau, jika menurut pertimbangan Presiden ada keberatan-keberatan penting terhadap perkawinan antara si bapak dan si ibu”.
Pasal 276 KUHPdt, yang berbunyi, “Dalam hal-hal yang tercantum dalam kedua pasal yang lalu, jika dipandang perlu, Mahkamah Agung sebelum memberikan nasihatnya harus mendengar atau menyuruh mendengar terlebih dahulu para keluarga sedarah si pemohon, bahkan harus memerintahkan pula supaya permintaan pengesahan itu dumumkan dalam Berita Negara.
Selanjutnya Pasal 277. Pengesahan anak, baik dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, maupu dengan surat pengesahan menurut pasal 274, mengakibatkan, bahwa terhadap anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan undang-undang yang sama seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan.
Selanjutnya pasal 278, berbunyi, Dalam hal-hal teratur dalam pasal 275. pengesahan itu memperoleh kekuatan yang berlaku, mulai hari surat pengesahan diberikan oleh Presiden: akan merugikan anak-anak sah sebelumnya, seperti pu pengesahan itu dalam hal pewarisan tak akan berlaku pula terhadap para keluarga sedarah lainnya, kecuali sekadar mereka yang akhir ini telah menyetujui pemberian surat pengesahan itu.
Pasal 279 KUHPdt yang berbunyi, “Dengan cara yang sama dan menurut ketentuan-ketentuan yang sama pula seperti termuat dalam pasal-pasal sebelumnya. Anak-anak yang telah meninggal dunia dan meninggalkan keturunannya, boleh juga disahkan, pengesahan mana adalah demi kebahagian sekalian keturunan itu”.[2]
Menurut KUHPdt bagian ketiga, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar pernikahan, pasal 280 yang berbunyi, “Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin. Timbullah hubungan perdata si anak dan bapak atau ibunya”.
Selanjutnya pasal 281 yang berbunyi, “Pengakuan terhadap seorang anak luar kawin , apabila yang demikian itu tidak telah dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap-tiap otentik.
Pengakuan demikian dapat juga dilakukan dengan akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil dan dibukukan dalam register kelahiran menurut hari penanggalannya. Pengakuan ini harus dicatat dalam jihat akta kelahiran.
Jika Pengakuan itu dilakukan dengan akta otentik lain, maka masing-masing yang berkepentingan berhak menuntut pencatan pengakuan itu dalam jihat akta kelahiran si anak.
Namun bagaimana tak bolehlah sesuatu kelalaian mencatatkan pengakuan itu dipersalahkan kepada anak yang diakui. Untuk mempertengkarkan kedudukan yang diperolehnya.
Selanjunya pasal 282 KUHPdt yang berbunyi, pengakuan terhadap seorang anak luar kawin yang dilakukan oleh seorang yang belum dewasa, adalah tanpa guna, kecuali si belum dewasa itu, telah mencapai umur genap sembilan belas tahun dan pengakuan yang dilakukannya pun bukan akibat paksa, khilaf, tipu, atau bujuk.
Anak perempuan belum dewasa sementara itu, boleh melakukan pengakuan, pun kendati belum mencapai umur sembilan belas tahun.[3]
Dari pasal-pasal tersebut sudah sangat jelas diterangkan masalah-masalah dan cara-cara pengesahan anak yang diluar pernikahan. Dalam hal ini kami tambahkan pasal-pasal tentang pengakuan terhadap anak-anak luar pernikahan.
Undang-undang hanya mengenal dua golongan anak:
1. anak yang sah dari kedua orangtuanya.
2. anak yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluargs si ibu yang melahirkan.
Mengenai anak yang sah ini diatur dalam pasal 42, yang berisi ketentuan: Anak yang sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan ini dapat kita simpulkan, bahwa anak yang sah ialah:
Anak yang dilahirkan dalam dan selama perkawinan.
Dan kelahirannya harus dari perhubungan perkawinan yang sah.
Kalau begitu anak yang sah itu harus dengan jelas diketahui bapak dan ibunya yang telah resmi secara hukum terikat dalam suatu perkawinan yang sah.[4]


2. Status hak asuh anak apabila kedua orangtuanya telah melakukan perceraian.
Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa apabila putus perkawinan karena perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, maka baik Bapak atau Ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya (pasal 41).
Pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak dibawah umur kepada ibu. Dasarnya, Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Dan didukung dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa “anak dibawah asuhan ibunya.” Jika anak sudah bisa memilih, ia dipersilahkan memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
Yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak adalah bapak; bilamana bapak kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.[5]
Sesuai dengan ayat a pasal 41 diatur ketentuan :
Baik ibu dan bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
Dengan memperhatikan bunyi ketentuan diatas jelas kita lihat pengarahan keluarga dan pemeliharaan anak-anak yang lahir dari perceraian parental stelsel. Kepada kedua orangtua (ibu dan bapak) hukum memberi hak yang legal kepada kedua orangtua tadi untuk melaksanakan pemeliharaan atau perwalian terhadap anak-anak mereka sesudah perceraian. Mereka mempunyai hak yang sama (equality) untuk melaksanakan segala kepentingan pemeliharaan anak-anak. Sama berhak dan bertanggung jawab menyantuni baik pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran serta kesejahraan anak-anak tersebut. Akan tetapi kita berpendapat hak persamaan yang demikian tidak lebih merupakan konsep yang sangat teoritis sekali tapi sangat tak mungkin untuk pelaksanaannya.[6]

a. Yang Lebih Berhak Melakukan Pemeliharaan Anak Sesudah Perceraian.
Diatas sekedar gambaran sudah kami perlihatkan dasar hukum sebagai bahan orientasi kita dalam masalah ini.
Kalau kita berpegang kepada hukum adapt yang murni pemeliharaan ditentukan oleh kekerabatan yang menjadi susunan masyarakat tempat jadinya perceraian. Sedang berdasarkan hukum Islam hak pemeliharaan itu lebih mutlak berada ditangan ibu. Dan kalau menurut common law inggeris yang murni bapak mempunyai hak yang tinggi dalam pemeliharaan anak. Akan tetapi seperti yang sering kita katakan, hukum itu adalah aturan hidup yang sangat elastis. Perubahan kesadaran aturan hukum yang menjadi tertib masyarakat itu memaksa. Elastisitet hukum itu kearah kesadaran yang dihayati oleh masyarakat.
Sebelum kita memberi dasar-dasar alasan siapa yang lebih pantas menjadi pengasuh anak-anak dalam suatu perceraian, baiklah kami memberikan beberapa yurisprudensi Pengadilan di Indonesia sendiri tentang apa yang menjadi persoalan kita sekarang. Misalnya kita ambil putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai tanggal 2 April 1973, diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 2 Juli 1973 No. 205/1973 telah menetapkan kira-kira berbunyi: bahwa pada dasarnya Pengadilan sudah setuju denagan keputusan Mahkamah Syariah No. 159/1972 yang telah menetapkan pemeliharaan anak-anak diserahkan kepada ibunya.[7]
b. Umumnya Pilihan Pemeliharaan Diserahkan Pada Ibu, Terutama Apabila Anak-anak Masih Kecil.
Sebagaiman kita terangkan pemeliharaan anak itu pada prisipnya didasarkan pada kriterium; kepentingan kesejahteraan anak (the welfare and the happinees atau the best interest of the child). Sehingga ukuran bahwa bapak yang lebih utama ataupun kembali kepada kerabat sesuai dengan susunan kekeluargaan yang bersangkutan tidak dapat dipertahankan lagi.
Pada keputusan-keputusan yang kita utarakan diatas Pengadilan pada semua putusan telah menjatuhkan pilihan pemeliharaan itu pada ibu. Pilihan ini didasarkan pada beberapa ukuran objektif disamping dihubungkan dengan kepentingan anak dihubungkan dengan rasa kemanusiaan dan faktor kasih sayang:
Bahwa apabila anak-anak akibat perceraian itu masih berumur kecil yang benar-benar memerlukan belaian yang lemah lembut dan kasih sayang dengan perawatan yang penuh ketabahan adalah lebih serasi jika pemeliharaan anak itu diberikan pada si ibu demi untuk kepentingan anak itu ditinjau dari segi kemanusiaan palagi anak tersebut masih menyusui ataupun masih berumur 2 atau 3 tahun adalah sesuatu yang sangat menyayat hati nurani kemanusiaan untuk memisahkan anak dengan ibunya dalam keadaan pemisahan hidup bukan karena pemisahan disebabkan meninggal.
Pada umumnya ibu lebih memilih terikat apada tempat kediaman dibandingkan dengan ayah yang setiap pagi sampai petang hampir sibuk diluar rumah sehingga percurahan kasih sayang tidak sepenuhnya dapat diberikan oleh ayah, sedangkan ibu lebih banyak tinggal dirumah bersama anak yang menyebabkan pemeliharaan dan ikatan kasih sayang itu setiap saat berlangsung timbal-balik antara anak dengan si ibu.
Jadi kesimpulannya dalam hal ini masih butuh pertimbangan faktor-faktor dengan suatu evaluasi dan penilaian. Jika menurut pertimbangan siibu tidak akan dapat diharapkan memberi jaminan mengurus kepentingan pemeliharaan anak, maka prioritas selanjutnya adalah jatuh kepada orangtua laki-laki. Hal ini kami rasa adalah alas an yang fundamental. Sebab bagaimanapun terutama dalam pertumbuhan masyarakat bangsa kita, sesuai pula dengan dasar hukum legal bahwa kedua orang tua adalah yang paling berhak atas anak-anak mereka. Juga hal ini dapat ditinjau dari segi edukatipnya, sekalipun misalnya neneknya akan memberi segala fasilitas yang menjamin kebutuhan si anak. Bagaimanapun nenek akan berbuat hal-hal yang memenjakan anak yang berakibat lebih merusak pertumbuhan kejiwaan anak menjadi anggota masyarakat yang tak dapat berdiri sendiri didalam kehidupan masyarakatnya dibelakang hari. Tetapi seperti yang kami katakan diatas hal itu semua terpulan pada faktor-faktor yang telah diterangakan diatas. Bahwa sekalipun ibu atau ayah mempunyai hak hukum yang lebih utama terhadap anak akan tetapi jika nyata akan lebih menjerumuskan anak itu; lebih baik diserahkan pada neneknya.[8]

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Kalau kita hendak mempelajari hukum keluarga,kita tidak cukup hanya mempelajarinya dari UU hukum perkawinan,tetapi kita masih perlu mempeljari hukum keluarga yang diatur dalam KUHPerdata,Ordonantie prkawinan Kristen Indonesia, peraturan perkawinan campuran dan peraturan-peraturan lain.
Ketentuan pasal 66 UU perkawianan adalah sejalan dengan pasal 47 PP No. 9/1975, yaitu isinya:
“ Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini,maka ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tebtang perkawinan sejauh telah diatur didalam Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku.
Walaupun demikian ada sedikit perbedaan antara keduanya, karena dalam pasal 47 PP No. 9/1975 digunakan kata-kata “Perundang-undangan” yang memiliki ruang liongkup lebih sempit dibandingkan dengan kata “Peraturan-peraturan lain”.
“kata Perundang-undangan” menunjuk peraturan tertulis dari peraturan tersebut. Namun jangan lupa, bahwa peraturan Pemerunatah No. 9/1975 adalah peraturan pelaksanaan dan jika kita simak isi dari Peraeturan Pemerintah 9/1975, maka akan diketahui bahwa yang diatur didalamnya adalah segi-segi fomalitas dari perkawinan saja, dan segi tata perkawinan diwaktu yang lampau (sebelum 1 Oktober 1975) memeng diatur dalam peraturan tertulis seperti :
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak, rujuk.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1945 tentang penetapan Undang-Undang 22/46 berlaku untuk seluruh Indonesia.
- Peraturan Menteri Agama Nomor 1/1955.
- Peraturan Menteri Agama Nomor 2/1954.
- Peraturan-peraturan pelaksanaan B>W seperti:
o Peraturan tentang Register Burgerlijk Stand untuk orang-orang Eropa s.1917 : 531 dan s.1919 : 816.
o S.1972 :166 tentang weeshamer (balai harta peninggalan)
o S.1972 : 382 tentang voogdijreuen ( balai perwalian)
o Peraturan-peraturan pelaksanaan Ordonantie Perkawinan Kristen Indonesia.
o Peraturan pelaksanaan peraturan perkawinan campuran.




DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T. Drs, SH, Peraturan Tata Hukum Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta; 1981.
Subekti, R. Prof. S.H; Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA; Pradnya Paramita; Jakarta; 2008.
http//www.google.com/permasalahanhukumkeluarga.
Harahap, Yahya M. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan; 1975.
Subekti, R. Prof. S.H; Pokok-pokok Hukum Perdata; P.T. Intermasa; Jakarta; 2008

[1] Prof. R. Subekti. S.H; Pokok-pokok Hukum Perdata; P.T. Intermasa; Jakarta; 2008

[2] Prof. R. Subekti, S.H; Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA; Pradnya Paramita; Jakarta; 2008; halaman 68.
[3] Prof. R. Subekti, S.H; Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA; Pradnya Paramita; Jakarta; 2008; halaman 69.

[4] M. Yahya Harahap. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan;1975; halaman 183
[5] http//www.google.com/permasalahanhukumkeluarga
[6] M. Yahya Harahap. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan;1975; halaman 183
[7] M. Yahya Harahap. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan;1975; halaman 183

[8] M. Yahya Harahap. S.H; Hukum Perkawinan Nasional; C.V. Zahir; Medan;1975; halaman 183